Minggu, 11 Mei 2014

Renungan di Hari Pendidikan







Sekolah itu bukan soal lulus ujian, tetapi soal belajar mengembangkan keistimewaan diri. Setuju? 

Apakah benar pendidikan kita itu membutuhkan UN? bukannya pendidikan itu lebih butuh 'ikan' ketimbang 'UN'? Tanpa'ikan' pendidikan hanyalah 'pendid'. Sangat menggantung maknanya. Nggak selesai. Nggak lulus!.

Tentu bukan atas pemikiran itu keberlangsungan UN dipertanyakan. Tapi karena UN ternyata menimbulkan banyak polemik. Dari tahun ke tahun penyelenggaraan UN nggak pernah beres. Soal ujian yang telat sampai, kebocoran soal UN, serta cerita siswa cerdas dan potensial yang gagal UN adalah rombongan cerita yang nggak pernah lepas dari UN di tahun ke tahun.

Di hari peringatan perjuangan pendidikan 2 Mei 2014 ini, mari kita renungkan, apakah UN masih layak untuk dipertahankan mengingat permasalahan ini terjadi.   

Standarisasi Potensi dan Nggak Memperhatikan Keistimewaan Siswa

Ki Hajar Dewantara pernah berkata "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbunya kodrat itu."

P! setuju banget dengan apa yang disebut beliau. P! yakin, kita pasti punya potensi tersendiri di suatu bidang dan mungkin lemah di bidang lainnya. Itu sangat wajar. Ada anak yang jago olahraga tapi lemah di pelajaran sosial. Itu wajar kan? Karena ada UN, semua anak seolah dipaksa untuk menguasai semua bidang.

Sekeren apa pun temen kita bermusik, setinggi apa pun prestasi teman kita di olimpiade, sejago apa pun temen kita main basket, ngelukis, berdebat, marawisan atau nge-dance, kalau dia nggak lulus UN, ya nggak luluslah ia dari sekolah.

Ya, sekolah di Indonesia bukan kayak akademi mutan di film X Men First Class yang sangat membebaskan dan membimbing kita untuk mengembangkan kemampuan kita sendiri.

UN Minded Generation

Permasalahan satu ini nggak kalah parah sih. Orientasi kita sekolah adalah untuk lulus UN.  Setelah lulus, nilai UN seorang siswa pun melekat menjadi identitas anak tersebut. Semakin tinggi nilainya, semakin bangga dan dibanggakannya dia.

Udah gitu, orientasi kita sekolah adalah kuantitas. Bukan kualitas. Nggak heran deh kalau orangtua pun jadinya lebih mendorong kita untuk ikutan bimbel ketimbang les musik, kursus desain, atau ikutan komunitas pecinta alam.

Menurut Khresna Aditya, seorang aktivis pendidikan di petisi yang dibuatnya di Change.org, UN membuat mata pelajaran jadi berkasta, udah gitu, sekolah pun jadi sekadar kayak bimbingan tes. Bukan wadah pengembangan bakat dan potensi diri.

P! setuju soal kastanisasi mata pelajaran itu. Coba inget-inget aja, semakin susah pelajaran tersebut maka ia akan didewakan bukan? bisa jadi karena itulah, jurusan eksakta yang mensyaratkan kemampuan berhitung, jadi diunggulkan dibanding jurusan sosial. Anak yang nggak jago matematika jadi dianggap rendah. Apalagi jurusan eksakta memberi peluang siswanya untuk memilih jurusan apa pun nanti di perkuliahan. Sementara jurusan sosial dan bahasa terbatas pilihannya.

Kecurangan terus terjadi

Pemerintah memang andal dalam menetapkan aturan. Tipe soal dibeda-bedakan, bahkan konon ada 20 jenis soal untuk satu mata pelajaran. Tingkat kesulitannya juga ditingkatkan. Katanya sih demi meninggkatkan standar kelulusan siswa. 

Maksudnya baik memang. Tapi pengaturan sistem pendidikan itu nggak jauh beda sama pengaturan sistem lalu lintas. Untuk mengurangi kemacetan, pemerintah Jakarta menetapkan sistem three in one. Tapi di sisi lain pemerintah membiarkan keberadaan joki-joki three in one. Bukan malah memperbaiki infrastruktur angkutan umumnya dari dulu, bukan membatasi produksi kendaraan pribadi.  Begitu juga dalam UN, kecurangan dan kebocoran soal seolah dibiarkan. Siswa dan orangtua murid yang ketakutan dengan soal UN pun jadi terbiasa mengambil jalan pintas dengan mencari joki mencari bocoran soal atau lebih parah lagi mencari tempat bimbel yang menjamin pesertanya lulus, bagaimana pun caranya.

Kalau udah kayak gini, UN yang sebenarnya dibuat untuk ningkatin semangat belajar malah kehilangan esensinya kan?

Tentu, tulisan ini bukan ditujukan untuk merendahkan pentingnya belajar. Sampai kapan pun belajar dan pendidikan adalah penting. Apalah artinya manusia kalau nggak punya pengetahuan dan nggak bisa mengolahnya.

P! yakin kalian pada paham kan esensi pendidikan dan sekolah. Ingatlah selalu, kita pakai helm bukan karena takut ditilang polisi, tetapi agar selamat dari celaka. Kita sekolah pun bukan untuk bersaing tinggi-tinggian nilai UN, melainkan untuk belajar dan mengembangkan bakat, potensi dan keistimewaan diri kita yang positif tentunya. Jangan sampai sistem pendidikan membuat kita lupa esensi pendidikan itu.

Menurut temen-temen gimana? Setujukah UN di lanjutkan? atau mending dihapuskan saja? lantas pengganti UN itu cocoknya apa? Setuju nggak kalau untuk lulus, tiap siswa diminta unutk membuat tugas akhir sesuai dengan minatnya?

sejenis skripsi gitu.


sumber: provoke-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar